A. Identitas
Buku
a.
Judul Buku : Salah Pilih
b.
Nama pengarang : Nur St. Iskandar
c.
Penerbit : Balai Pustaka
d.
Kota Terbit : Jakarta
e.
Tahun Terbit
Cetakan
pertama : 1928
Cetakan
ke-27 : 2006
f.
Jumlah Halaman : viii + 262 halaman
g.
Ukuran
: 14 × 20,5 cm
h.
ISBN
: 979-407-178-1
B.
Sinopsis
Di
sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Suku Minang, Sumatera barat,
tinggal sebuah keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki
dan seorang lagi perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si
lelaki, Asri, dan yang perempuan, Asnah. Sementara pembantu itu bernama Liah
dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi
satu sama lain sekalipun dengan si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung
Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada
perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu. Ia selalu sabar merawat Bu
Mariati yang tengah sakit.
Asri
dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara. Mereka
terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang
tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal yang
sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak,
melainkan rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang
ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan
menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka.
Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan yang cantik, adik kandung
mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka bertunangan lalu menikah
setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan
Asri dengan Saniah sangat jauh dari kata ‘bahagia’. Keduanya memiliki perbedaan
yang sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir sang ibu untuk
mengikuti adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah
terbiasa dengan pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun
ia tidak suka terlalu dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah
padanya. Selain itu, Saniah adalah wanita yang sombong, keras kepala,
membedakan kelas sosial masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga.
Saniah sangat cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis
itu dengan berbagai cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu
hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah
bergantian menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang
telah diasingkan Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati
tidak dapat disembuhkan dan nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal,
ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah meminta Asri menikah,
apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak
melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah. Wanita itu
berpesan agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah yang
sifatnya sangat mulia dan dimata semua orang.
Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta diantara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi berada di rumah gadang itu.
Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta diantara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi berada di rumah gadang itu.
Suatu
ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan
menikah dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau
mempunyai menantu miskin dan dari suku lain, kemudian ia mengajak Saniah
beserta pembantu mereka pergi ketempat putranya untuk menggagalkan pernikahan
itu. Saking geramnya, bu Saleah meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut
walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi kurang
kendali sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Semenjak
Asri menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah
goyah untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih
cantik. Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya
yang sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan
meninggalkan segala harta dan jabatannya untuk merantau ke Jawa, karena jika
tidak pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak
hormat. Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang
baik dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Ditengah rutinitas mereka di
Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar
keduanya kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan.
Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga
meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung
kelahirannya itu. Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang
sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas
kelembutan tabiat Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi
tahu siapa orang yang sebenarnya ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu
hidup bersama sang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang penuh cinta di
kampung halaman tercinta.
C. Unsur Intrinsik Novel
a. Tema
Tema dalam Novel ini adalah tentang
sosial, dimana menceritakan kesalahan seseorang dalam
menentukan pilihannya.
b. Tokoh
dan Penokohan
a) Asnah : Sabar, berbudi luhur, ramah, sopan, lembut, pemaaf,
patuh
dan taat pada orang tua, sedikit tertutup.
dan taat pada orang tua, sedikit tertutup.
b) Asri : Ramah, patuh terhadap orang tua, penyayang, lapang
dada,
sabar,
terpelajar.
c) Saniah
(istri Asri): Mudah cemburu,
pendendam, pandai
berpura-pura,angkuh, bengis, cara
bicaranya kasar dan suka menyindir dengan
kata-kata yang pedas.
d) Mariati
: Baik hati, walau kadang sikapnya ketus dan
masam, namun
Begitu penyayang tehadap keluarganya.
e) Sitti
Maliah : Dapat dipercaya, baik
hati, penyayang.
f) Rangkayo
Saleah : Tegas, angkuh, sombong, tinggi hati.
g) Rusiah
: Penyabar, baik budinya, lembut.
h) Dt.
Indomo : Walaupun baik tetapi terlalu takut terhadap
istrinya
sehingga tidak dapat tegas dalam mengambil keputusan
sehingga tidak dapat tegas dalam mengambil keputusan
i)
Kaharuddin : Gigih, tegas, rendah hati, tidak suka membeda-bedakan
Orang karena
perbedaan harta dan kekayaan saja.
j)
Mariah :
Jujur, sabar
k) St.
Bendahara : Jujur, memegang teguh adat, namun tidak mau
Mendengarkan pendapat orang lain yang bertentangan
dengannya.
c. Alur
Novel ini menggunakan alur maju.
Novel ini menggunakan alur maju.
d. Latar/Setting
a) Latar
tempat
Dalam novel ini disebutkan latarnya
yaitu di daerah Minangkabau, Sumatera Barat yaitu di Maninjau, Sungai Batang,
Bayur, dan Bukittinggi. Sebagian juga mengambil latar di pulau Jawa.
b) Latar
Waktu
Waktu yang digunakan dalam novel ini
yaitu pagi, siang, sore dan malam.
c) Latar
Suasana
Latar suasana novel ini lebih berbau Melayu
dan menampakkan suasana tegang, kacau, sedih dan gembira.
e. Sudut
Pandang
Novel ini menggunakan sudut pandang
orang ketiga
f. Gaya
penulisan
Penulisan novel ini sebagian besar
menggunakan bahasa melayu yang di dalamnya terdapat sebagian kata yang kurang dapat
dipahami, tidak sesuai dengan EYD, dan banyak kata-kata yang tidak dipakai lagi
dalam perbincangan sehari-hari,
contohnya seperti “berkalang”, di dalamnya juga terdapat
beberapa pantun dan peribahasa Melayu.
g. Amanat
a) Walaupun
sudah berpendidikan tinggi, janganlah lupa pada adat negeri sendiri.
b) Janganlah
menilai seseorang dari rupa atau hartanya saja
c) Jangan
membeda-bedakan orang karena kaya atau miskinnya
d) Menurut pada perintah dan nasihat orang tua
itu wajib hukumnya, tetapi jika perintah orang tua itu menuntun pada jalan yang
salah, sebaiknya sebisa mungkin harus bisa menolaknya.
e) Larangan dalam adat istiadat memang harus
dipatuhi, namun jika agama saja membenarkan dan tidak melarangnya, sebaiknya
kita berpegang teguh kepada hukum yang lebih tinggi nilainya yaitu hukum agama.
f) Sesuatu
yang menurut orang banyak itu salah, belum tentu merupakan suatu kesalahan. Karena pada dasarnya, kebenaran itu bukan
dilihat dari berapa banyak orang yang mempercayainya, tetapi atas dasar apa
sesuatu itu dapat disebut sesuatu yang benar.
D.
Unsur Ekstrinsik
a.
Latar Belakang Penulis Novel
Nur Sutan Iskandar, lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat
tanggal 3 November 1893 dan meninggal di Jakarta pada 28 November 1975 dalam
usia 82 tahun. Setelah mendapat didikan pada sekolah Melayu dan bahasa Belanda
pada tahun 1909, beliau diangkat menjadi guru. Sering pula beliau menulis untuk
surat-surat kabar di Padang. Tahun 1919 beliau pindah ke Jakarta dan bekerja di
Balai Pustaka. Pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya
menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia
diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya tahun 1942
sampai 1945.Ia adalah sastrawan paling produktif di masanya. Tak kurang dari 82
judul buku diterbitkan atas namanya. Karyanya yang mula-mula diterbitkan
berjudul Apa Dayaku Karna Aku Perempuan (1922).
Kemudia terbit buku-buku lainnya : Cinta
Membawa Maut (BP-1926), Salah Pilih (BP-1928), Hulu Balang Raja (BP-1934), Neraka Dunia (BP-1938), Cobaan (BP-1946, sekarang diganti
judulnya jadi Turun ke Desa). Selain
itu, beliau juga menulis buku bacaan untuk pelajar seperti Ceritera Tiga Ekor Kucing, Pengalaman Masa Kecil, Cinta Tanah Air, serta menerjemahkan karya Alexander
Dumas : Tiga Orang Panglima Perang, Dua Puluh Tahun Kemudian, Graf de Monte
Cristo: karya Sinkiewiz Iman dan
Pengasihan, dan terakhir karya Tagore: Cinta
dan Mata.
E.
Adat dan
Kebiasaan
a. Tidak bisa
terwujudnya rasa cinta Asnah kepada Asri karena sukunya melarang keras mereka
menjadi suami istri, Asnah dan Asri masih ada ikatan keluarga walaupun sangat jauh.Tetap
dalam kehidupan nyata saat ini, hukum adat tersebut sudah mulai jarang ditaati,
seperti antar sepupu melakukan perkawinan, dan masih banyak lagi contohnya.
b.
Sebuah adat
istiadat rakyat minang yang berisikan “Pihak bako (keluarga almarhum dari orang
tua yang meninggalkan anaknya) tidak mau menanggung atau mengurus anak dari
almarhum keluarganya apabila ia anak tunggal.”
c.
Adat masyarakat
minang yang membolehkan seorang laki-laki mempunya istri empat.
d.
Kebiasaan yang
dimiliki orang Indonesia, yaitu jika menyangkut masalah kehidupan (perkawinan)
anaknya orangtua antar kedua belah pihak saja yang berurusan dan saling setuju,
tanpa memikirkan nasib kedua makhluk yang akan dipersatukan ini tanpa adanya
rasa cinta diantara mereka.
0 comments:
Post a Comment