Thursday, January 5, 2017

Menyimak Dialog Interaktif di Televisi Kick Andy "Peraih Nilai UN tertinggi Kabupaten Tulungagung"

P : “Metta Andriani. Metta asalnya dari mana?”
M : “Tulungagung”
P : “Tulungagung. Sekarang kerja di?”
M : “Toko pakan burung”
P : “Toko pakan burung, menjual makanan burung. Gajinya berapa itu?”
M : “Rp 400.000,00 perbulan”
P : “Soalnya Pak Nuh tadi tanya itu perbulan apa perhari?”
M : “Perbulan.”
P : “Perbulan Pak Nuh.Kecuali Pak Nuh tiap hari beli pakan burung di situ bisa Rp400.000,00 perhari. Metta, Tapi apa betul Metta adalah siswa lulus terbaik di ujian nasional kemarin untuk Kabupaten Tulungangung?”
M : “Iya, betul”
P : “Menarik untuk melihat kisah hidup Metta, mari sebelumnya ikuti dulu kisahnya berikut ini.”
Kemiskinan tidak identik dengan kebodohan. Meski datang dari keluarga yang sangat sederhana, Metta Andriyani dikenal sebagai siswi yang pandai dan tekun. Tak kalah dengan mereka yang dibekali fasilitas berlebih. Lulus Ujian Nasional dengan nilai 56,45 membuatnya menjadi peraih nilai UN tertinggi se Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Tinggal di Dusun Trimulyo, Mujang, Tulungagung, sehari-hari Metta membantu sang ibu Eni Supangatin, yang bekerja sebagi penjahit perusahaan konveksi. Untuk satu celana yang berhasil dijahitnya akan mendapatkan upah sebesar Rp1000,00. Sementara ayahya Metta sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak tetap. Meski dibekali kemampuan yang unggul di bidang akademis, Metta pasrah jika sewaktu-waktu ia tidak mampu melanjutkan kuliah karena terbentur biaya. Sambil menunggu penerimaan mahasiswa baru, kini Metta bekerja sebagai penjaga toko pakan burung yang tak jauh dari rumahnya yang bekerja dari tengah hari hingga larut malam. Keinginan Metta saat ini ingin dapat segera kuliah sesuai minatnya di bidang Matematika. 

P : “Jadi ayah bekerja sebagai buruh bangunan, ibu penjahit. Metta, apa betul Metta juga pernah menunggak uang sekolah?”
M : “Iya, pernah, Pak.”
P : “Berapa lama nunggaknya?”
M : “2-3 bulan.”
P : “Sekolah nggak papa?”
M : “Nggak papa, Pak. Sekolah memaklumi kalau keadaan nggak ada.”
P : “Berapa sih uang sekolah sebulan?”
M : “Rp 180.000,00. Tapi itu udah mendapat potongan dari sekolahan, Pak.”
P : “Kenapa Metta dapat potongan?”
M : “Ya mengajukan surat tidak mampu ke sekolahan supaya dapat keringanan.”
P : “Betulkah sejak kelas 1 sampai tamat SD Metta selalu mendapat ranking tertinggi?”
M : “Iya, Pak.”
P : “SMP bagaimana?”
M : “SMP masuk 10 besar sampai 5 besar.”
P : “SMA?”
M : “SMA ya 10 besar, Pak.”
P : “Dari Ujian Nasional tahun ini Metta mendapatkan nilai tertinggi untuk Kabupaten Tulungagung?”
M : “Ya.”
P : “Berapa nilai totalnya?”
M : “56,45.”
P : “Itu artinya rata-rata satu pelajaran nilainya berapa?”
M : “9,3.”
P : “Nah, dengan kondisi ekonomi seperti tadi dan harus membantu ibu menjahit ya? Bagaimana Metta membagi waktu untuk belajar dan membantu orang tua mencari nafkah?”
M : “Ya kalau habis pulang sekolah itu biasanya bantu ibu dulu nanti kalau sudah selesai baru belajar, Pak.”
P : “Jam berapa biasanya belajar?”
M : “Sore sampai malem.”
P : “Apa komentar orang tua ketika tahu nilai Metta tertinggi se-Kabupaten Tulungagung?”
M : “Kalau orang tua itu ya senangnya senang, Pak. Tapi juga ada sedihnya. Kalau…”
P : “Sedihnya?”
M : “Lha nilai saya bagus tapi ndak ada biaya buat kuliah.”
P : “Waduh. Kalau gitu kita tanya Ibu Emi, nih, ibunya. Ibu Emi, ada bahagianya tapi ada sedihnya. Sudah lakukan apa? Upaya apa yang sudah dilakukan untuk bisa melanjutkan kuliah? Sudah berbagai usaha lah, ya? Jadi sampai sekarang juga belum bisa mendapatkan uang untuk kuliah Metta?”
I : “Sama sekali belum, Pak. Tapi, sudah ada yang mau membantu. Banyak yang menawari untuk kuliah, Pak.”
P : “Baik, tapi belum ada yang terealisasi, ya?”
I : “Belum.”
P : “Tapi kalau Ibu sendiri yang harus membiayai sudah pasti tidak akan bisa?”
I : “Tidak mampu, Pak.”
P : “Tidak ada sedikitpun yang bisa disisihkan untuk dikumpulkan?”
I : “Untuk makan saja sudah pas-pasan lho, Pak.”
P : “Tapi Ibu boleh dong Ibu punya harapan terhadap Metta? Masa depan Metta.”
I : “Ya.”
P : “Apa harapan Ibu?”
I : “Semoga cita-citanya tercapai, Pak. Pinginnya dia jadi dosen, Pak.”
P : “Mudah-mudahan bisa tercapai, Bu. Metta, sekarang Metta kerja di toko makanan burung ini sebenarnya sementara, ya? Sambil berharap untuk bisa melanjutkan kuliah?”
M : “Iya, Pak. Sementara.”
P : “Tapi sudah pernah ikut SNMPTN?”
M : “Sudah, Pak.”
P : “Hasilnya?”
M : “Nggak lolos juga itu.”
P : “Padahal waktu mau masuk jurusan apa?”
M : “Pendidikan Matematika.”
P : “Kenapa pilih Pendidikan Matematika?”
M : “Dari dulu saya sukanya yang menghitung, Pak. Kalau hafalan itu nggak terlalu bisa.”
P : “Kebalikan dari saya. Pernah mencoba jalur SBMPTN?”
M : “Ya ini mau nyoba, Pak.”
P : “Mau nyoba?”
M : “Iya.”
P : “Biayanya dari mana?”
M : “Dibiayai sama orang, Pak.”
P : “Baik. Nanti kuliahnya diharapkan ada bantuan, ya? Metta sendiri punya mimpi apa, sih? Yang ingin Metta wujudkan?”
M : “Yang pertama saya ingin membahagiakan orang tua saya, Pak. Mengangkat derajatnya. Dari dulu orang tua saya sudah membesarkan saya susah payah.”
P : “Baik, terima kasih Metta, ya? Sudah berbagi dengan kami semua yang ada di sini dan penonton di rumah. Tentu doa kami agar Metta sukses selalu, ya?”
M : “Ya.”

Share:

1 comment: